“Saya pernah dipotong satu hari kerja, kemudian yang lain juga ada yang sampai jutaan. Saya sedih, ada perawat gizi yang malah dikerjakan di kopi shop pribadi direktur, kalau gak laku si perawat itu harus membelinya, kalau gak di potong juga gajinya,” jelasnya.
Rian juga mengungkapkan, gaji yang ia dan rekan-rekannya terima juga dibawah Upah Minimun Kota/Kabupaten (UMK) Kabupaten Bandung sebesar Rp 3,2 juta.
“Di sana, mau pekerja dengan status kontrak atau tetap itu Rp 2,7 juta, bahkan masih ada yang di bawah itu,” ungkap Rian.
Merasa banyak hak karyawan yang tidak sesuai aturan, akhirnya para pekerja melancarkan aksi unjuk rasa ke pihak Yayasan dan malah berujung PHK Sepihak.
“Akhirnya kami di PHK sepihak, dengan pesangonnya yang tidak sesuai aturan. Mudah-mudahan kedatangan kami ke sini ke DPRD dan Disnakertrans bisa memberikan solusi,” terangnya.
Bambang Marbun yang ditunjuk sebagai kuasa hukum para pegawai RS UKM mengatakan, para kliennya ingin mengajukan nasib mereka ke para Dewan dan Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans).
Hal itu dilakukan lantaran tindakan Direktur RS UKM melanggar Undang-Undang No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Kedatangan kami kesini untuk mengadu kepada wakil rakyat. Karena adik-adik kita ini sekarang sudah tidak bekerja, sedangkan kebutuhan hidup untuk makan, bayar kos- kosan dan lainnya tetap harus dipenuhi,” kata Bambang.
Namun Bambang menyayangkan respon para wakil rakyat. Karena sudah tiga pekan, surat permohonan audiensi yang ia layangkan ke DPRD Kabupaten Bandung, tak kunjung ada balasan.