Ketahanan Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal

Kabarin21 Views

Hari Pangan Sedunia (HPS) tahun ini, yang diperingati setiap tgl 16 Oktober, mempunyai makna yang lebih dalam, karena dunia pangan global sedang mengalami berbagai tantangan global yang luar biasa besar.  Tantangan ini berupa 3C, yaitu climate change (perubahan iklim), COVID-19 pandemic, dan Conflict.  Kondisi ini telah menyebabkan berbagai gangguan pada system pangan yang bermuara pada kenaikan harga  pangan, yang mengakibatkan kesulitan sebagian penduduk mendapatkan pangannya.

Semua ini mempengaruhi ketahanan pangan, baik secara global, nasional, bahkan sampai di tingkat rumah tangga, khususnya bagi rumah tangga miskin. UU Pangan (UU No 18, 2012) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.  Sesuai dengan definisi diatas, hasil ketahanan pangan yang baik adalah tercapainya kondisi dimana perseorangan atau individu yang dapat hidup sehat, aktif, dan produktif.  Syarat yang harus dipenuhi untuk itu adalah adanya pangan yang cukup tersedia, merata dan terjangkau, sesuai dengan agama, keyakinan dan budaya, sehingga dapat dikonsumsi dan memenuhi kebutuhan gizinya.

Bagaimana Kondisi Ketahanan Pangan saat ini?

Sebagaimana diuraikan diatas, kondisi 3C telah menyebabkan kondisi ketahanan global saat ini sangat tertekan.  PBB (FAO, IFAD, UNICEF, WFP dan WHO) pada tahun 2022, dalam dokumen yang berjudul The State of Food Security and Nutrition in the world, menunjukkan adanya tekanan besar yang dihadapi pangan dunia, terutama untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya yang terus bertambah.  Hal ini dapat dilihat dari adanya tren peningkatan tajam angka prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan (dengan kata lain, kelaparan). Dilaporkan bahwa angka prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan pada tahun 2019 ddalah 8,0% meningkat tajam menjadi 9,3% pada tahun 2020, dan terus meningkat mencapai 9,8% pada 2021.

Gambaran tentang kondisi global ini tentu perlu dicermati dan diantisipasi dampakntya bagi Indonesia, karena data di Indonesia juga menunjukkan kecenderungan yang mirip.  Badan Pusat Statistik  melaporkan bahwa prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan pada tahun 2019 adalah 7,63% naik menjadi 8.34%  pada tahun 2020. Kondisi ini sungguh memprihatinkan.  Apalagi setelah terjadi konflik Rusia-Ukraina (perang dimulai pada Feb 2022) maka  kondisi ini berpeluang menjadi memburuk.  FAO pada 25 Maret 2022 menyatakan bahwa bahwa situasi konflik ini dapat menambah jumlah orang kekurangan pangan sebesar 8 sampai 13 juta orang pada 2022/23. Hal-hal ini yang membuat beberapa kali Presiden RI memberikan peringatan kemungkinan adanya krisis pangan.

Tantangan Ketahanan Pangan

Tantangan pangan dunia menjadi sangat jelas, yaitu bagaimana meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan pangan. Menjawab tantangan tersebut, secara global terdapat dua prakarsa besar; yaitu (i) melakukan pendekatan baru dalam produksi pangan dan (ii) melakukan eksplorasi sumber pangan baru.

Pertama, pendekatan baru produksi pangan ini antara lain ditandai dengan munculnya teknologi baru dalam produksi pangan dan pertanian.  Berbagai teknologi baru tersebut antara lain adalah teknologi pertanian vertikal, pertanian presisi, produksi pangan berbasis kultur sel dan lain sebagainya.  Pengembangan teknologi ini tidak hanya penting untuk mengembangkan produktivitas pertanian saja, tetapi juga untuk menarik minat generasi muda mengembangkan pertanian dan pangan.  Program petani milenial Jawa barat, misalnya, cocok menggunakan pendekatan ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *